MATERI 6
8/9.2 PERUBAHAN PENERIMAAN DAERAHDAN PERANAN PENDAPATAN ASLI
DAERAH
Memperhatikan berbagai hasil kajian para ahli menunjukkan
bahwa otonomi daerah selama ini tergolong sangat kecil dilihat dari indikator
kecilnya kewenangan, jumlah bidang pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang dimiliki daerah (Hoessein, 2000 :3). Hal ini merupakan gambaran dari
praktek pemerintahan masa lalu yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974. Dengan berpegang pada Undang-undang tersebut, maka praktek yang terjadi
di lapangan berupa sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat, sehingga masyarakat
di daerah tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan
kepentingan dan potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000 : 574).
Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma
pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah pusat mencoba meletakkan
kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut
mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain.
Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa
konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannnya
itu. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa daerah harus mampu membiayai semua
kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan
hal tersebut, Koswara (2000 : 5) menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri,
mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat
harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai
prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok
ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan
otonomi daerah. Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah.
Sebagaimana Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber
penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah
sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD
tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD
terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian
keuangan suatu pemerintah daerah.
Apabila diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana
sebenarnya letak kecilnya nilai PAD suatu daerah. Untuk mengetahui hal ini
perlu diketahui terlebih dahulu unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari :
1. hasil pajak daerah;
2. hasil retribusi daerah;
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya;
4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Menurut Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya penerimaan PAD antara lain adalah :
1. banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar,
tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan
bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB);
2. badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan
keuntungan kepada Pemerintah Daerah;
3. kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,
retribusi, dan pungutan lainnya;
4. adanya kebocoran-kebocoran;
5. biaya pungut yang masih tinggi;
6. banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan
disempurnakan;
7. kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih
rendah.
Menurut Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi
penyebab utama rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan
daerah terhadap pusat, adalah sebagai berikut :
1. kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber
pendapatan daerah.
2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan,
karena semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun
tidak langsung ditarik oleh pusat.
3. kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya
sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
4. alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila
daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya
disintegrasi dan separatism.
5. kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada
Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.
Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya
ditentukan oleh besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada
beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. faktor manusia
2. faktor keuangan
3. faktor peralatan
4. faktor organisasi dan manajemen.
Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan
otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah
tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk
melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara
mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan
Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu
membiayai dirinya sendiri.
Sumber
: www.abstrakekonomi.blogspot.com

No comments: